Kamis, 01 Desember 2011

YANG SEHARUSNYA MENDAMPINGI ORANG YANG AKAN MENINGGAL?


Orang tua kerap membebankan pendidikan agama anak-anak kepada gereja serta sekolah. Mereka kurang menyadari bahwa pendidikan agama yang paling utama adalah di dalam keluarga dan harus diawali dalam keluarga.
Begitu juga dengan rawatan iman bagi orang-orang yang akan meninggal. Hal ini kerap kali dibebankan pada gereja, padahal kita semua terpanggil untuk menjadi pemberita Injil bagi mereka.

Seperti halnya pendidikan, pelayanan rawatan iman bagi orang-orang yang akan meninggal juga dimulai dari keluarga. Mereka yang bisa mendampingi adalah :

Orang Tua.  
Seperti pendidikan agama bagi anak-anak dan orang sakit yang belum berkeluarga, maka ayah dan ibu bertugas mendampingi serta memberitakan kebaikan Tuhan bagi semua orang dan tentang rumah kita di surga.  Bacalah Ulangan 6:6-9.

Suami atau Istri. 
Pada waktu pemberkatan pernikahan di gereja, calon suami atau istri mengucapkan janji pernikahan antara lain: "... aku akan mengasihi engkau baik dalam keadaan susah atau senang, miskin atau kaya, sakit atau sehat, sampai maut memisahkan kita." Mengasihi berarti mendampingi, merawat jasmani dan rohani, sampai akhir hayat.

Anak-Anak.  
Semua anak berkewajiban merawat orang tua mereka yang sakit atau sudah tua. Hukum kelima berbunyi, "Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu." (Keluaran 20:12) 
Sia-sialah semua ibadah, penyembahan, dan persembahan kita kepada Tuhan, jika kita tidak menunjukkan kasih dan hormat kepada orang tua. Kita semua menginginkan hidup yang berkecukupan, usaha dagang yang diberkati, dan rumah yang sejahtera. Semua itu akan kita peroleh jika kita mengasihi dan menghormati orang tua.

Gereja. 
Pastor atau pendeta memang berkewajiban merawat dan memelihara iman semua anggota jemaatnya. Selain melayankan sakramen pada waktu-waktu tertentu, mereka juga secara intim mengunjungi dan mendoakan umat, khususnya yang sudah tidak dapat hadir dalam kebaktian atau upacara gerejawi. 
Dalam gereja juga ada "Komisi Perkunjungan", yang secara rutin mengunjungi orang sakit dan lansia.

Saudara, Kerabat, dan Handai Tolan.  
Semua orang terpanggil untuk menjadi pemberita Injil bagi sesamanya, tetapi hanya sedikit sekali orang yang melakukannya. Mengapa? Karena orang-orang itu merasa tidak mampu, tidak tahu harus berbicara apa dan berbuat apa.

Hal-hal yang dapat kita lakukan adalah :
  •  Mengunjungi dan mengajak berbicara. Kebanyakan mereka kesepian dan merasa dikucilkan. Mereka ingin didengarkan dan diperhatikan.
  • Membacakan firman Tuhan yang telah kita persiapkan lebih dulu. Singkat saja.
  • Mendoakan mereka.
  •  Meminjami buku rohani kalau mereka masih bisa membaca atau ada yang membacakan.
  • Mengajak mereka menyanyikan lagu-lagu rohani yang sudah lama mereka kenal.

MENDAMPINGI ORANG YANG AKAN MENINGGAL


Seorang pasien yang mengetahui bahwa penyakitnya tidak bisa disembuhkan -- berujung pada kematian, mungkin akan mengalami depresi. Mereka sangat memerlukan penguatan dan pendampingan yang tulus dari keluarga dan sahabat-sahabatnya. Tidak hanya itu, kehadiran saudara-saudara seiman akan sangat menolong mereka dalam menghadapi hari-harinya.

Bila Anda mengetahui bahwa sebentar lagi Anda akan meninggal, apa yang akan Anda lakukan?
Seseorang yang tahu bahwa dia akan meninggal kemungkinan besar akan mengalami penurunan, entah itu harapannya atau kondisi emosinya. Dalam keadaan seperti ini, konselor pastoral sebaiknya mendampingi dengan sabar dan memberikan penguatan iman, sehingga pengharapannya di dalam Kristus tidak goyah.

Sebagai seorang konselor, saya pernah bertemu dengan seorang wanita yang menderita kanker, namanya Lois. Ia membicarakan ketakutannya akan rasa sakit. Lois juga takut menghadapi rasa kehilangan yang mungkin akan dialaminya pada waktu menjelang kematiannya. Dia cemburu ketika melihat sepasang suami istri yang tua berjalan bergandengan. Dia juga membicarakan pentingnya untuk tidak menunda menghadapi persoalannya dengan orang lain.

Saya pun mengatakan kepadanya, bahwa keadaannya dalam bulan-bulan terakhir, menjadi lebih penting dan bersemangat daripada bulan-bulan sebelumnya. Lois pun menanggapi, "Bila Anda mengetahui masa depan Anda di sini mungkin pendek, itu akan membuat masa sekarang menjadi lebih penting." Ketika kami mengakhiri pembicaraan kami, dia mengatakan bahwa adanya kesempatan membicarakan pengalamannya secara lengkap benar-benar sangat berarti baginya. Saya katakan kepadanya betapa saya juga tersentuh secara mendalam oleh segala hal yang diceritakannya. Lois menolong saya melihat lebih jelas bahwa bagi sebagian orang, proses mendekati kematian dapat menjadi suatu tahap penting dari pertumbuhan individu yang terus-menerus!

Keadaan seseorang saat menjelang kematian sama uniknya dengan keadaan seseorang dalam menjalani hidupnya. Berikut ini, ada lima hal yang membantu sebagian orang dalam menghadapi kematian, sehingga dapat memperoleh perspektif yang lebih luas, menggerakkan kekuatan baru, dan kemudian meninggal dengan tenang.

  1. Memunyai suatu komunitas penggembalaan, yang terdiri atas orang-orang yang akan mendengar dan memberi dukungan yang hangat. Keadaan menjelang kematian adalah suatu pengalaman yang sangat pribadi dan suatu pengalaman antarpribadi yang hebat. Dalam masyarakat kami, ketika orang merasa sendirian, kekayaan jaringan antarpribadi seseorang dapat membuat perbedaan yang dahsyat dalam kualitas keadaan mendekati kematian seseorang.
  2. Menyelesaikan sebanyak mungkin masalah yang belum diselesaikan dalam kehidupan mereka, khususnya dalam hubungan dekat mereka (misalnya, mengungkapkan kasih, atau meminta dan menerima pengampunan orang lain). Ted Rosenthal, seorang konselor, menjelaskan, "Saya pikir orang tidak takut akan kematian. Apa yang mereka takutkan adalah ketidaksempurnaan hidup mereka."
  3. Melaksanakan "kerja kedukaan" yang kompleks karena keadaan mendekati kematian, sehingga mereka dapat mencapai pengalaman penerimaan (Kubler-Ross).
  4. Memunyai suatu sistem iman, suatu rasa percaya, dan merasa betah dalam alam semesta, memberi suatu arti yang melebihi kehilangan yang berlipat ganda karena keadaan menjelang kematian.
  5. Memunyai suatu latar tempat seseorang dapat meninggal dengan bermartabat. Gerakan pembangunan rumah perawatan pasien terminal (hospice) ialah pembangunan yang paling manusiawi dalam tahun-tahun terakhir ini, berkaitan dengan keadaan menjelang kematian. Cicely Sander, seorang dokter Kristen, telah merintis berdirinya rumah perawatan pasien terminal yang pertama pada tahun 1967 yang bernama panti St. Christopher. Panti ini terletak di daerah pinggiran kota London. Sanders mengatakan, sebuah rumah perawatan pasien terminal, baik itu berupa panti asuhan atau bangsal rumah sakit, atau rumah yang dikelola oleh perawat keliling atau oleh staf rumah sakit, bertujuan untuk memampukan pasien agar dapat hidup hingga batas potensi kekuatan fisik, mental, dan emosional, serta hubungan sosialnya.

Program "hospice" memungkinkan pasien terminal meninggal di rumahnya dengan dikelilingi oleh anggota keluarganya. Jadi, dia tidak mati dalam suasana yang impersonal (tak berpribadi), yang merupakan ciri khas dari banyak rumah sakit. Hal ini dimungkinkan karena program hospice ini dengan hati-hati mengurus pasien. Di samping itu, seorang tenaga sukarelawan sering berkunjung untuk memberi dukungan dan pendampingan pada orang yang akan mati dan keluarganya. Sukarelawan yang bekerja dalam rumah perawatan pasien terminal, terus berhubungan dengan keluarga ketika mereka mengerjakan tugas kedukaan mereka sesudah kematian.

Program penggembalaan suatu jemaat, sepantasnya belajar dari dan bekerja sama secara penuh dengan program rumah perawatan pasien terminal setempat, atau berprakarsa membantu kelancaran program semacam itu jika belum ada. Para pendeta sepantasnya mendorong anggota jemaat untuk mengikuti pendidikan rumah perawatan pasien terminal dan berpartisipasi dalam pelayanan ini.

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul asli buku: Basics Types of Pastoral Care and Counseling
Judul buku: Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral
Judul asli artikel: Membangun dan Menuntun Suatu Kelompok Penyembuhan Kedukaan
Penulis: Howard Clinebell
Penerjemah: Pdt. B.H. Nababan, DPS
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta 2002
Halaman: 301 -- 302

Rabu, 16 November 2011

KEMURAHAN HATI


1 Korintus 13:4, "Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; .............................."

Berbicara tentang kemurahan hati tidaklah hanya mengenai keuangan atau materi. Tapi ketika kita berbicara tentang murah hati, hal itu bisa juga berarti tentang waktu, tenaga, doa, bahkan senyum yang kita bagikan kepada orang lain.

Mother Teresa sangat terkenal dengan kemurahan hatinya, bukan karena ia kaya dan suka membagi-bagikan uang, namun karena ia rela menyerahkan hidupnya, waktunya, dan tenaganya untuk menolong orang-orang yang sakit kusta di tanah India.
Ia meluangkan waktunya untuk melayani mereka, berbagi kasih dan sukacita, mendoakan mereka, menghibur mereka saat mereka bersedih, dan mendampingi mereka di saat-saat akhir kehidupan mereka.

Apa yang Mother Teresa lakukan juga bisa kita lakukan ditempat kita berada sekarang. Mungkin tanpa kita sadari ada begitu banyak orang disekitar kita yang membutuhkan kasih, penghiburan, sekedar teman bicara, atau doa-doa kita.
Jika kita mau, kita bisa bermurah hati kepada mereka dan meluangkan waktu kita bagi mereka.

Hari ini saya mendorong kita semua untuk memiliki kemurahan hati yang terpancar dengan nyata melalui tindakan kita. Mari jadikan hidup kita menjadi pribadi yang penuh kemurahan hati dan setiap orang di komunitas kita bisa merasakan kemurahan hati kita.
Tuhan memberkati, Amin.

Selasa, 15 November 2011

MENDAMPINGI ORANG SAKIT, MENJELANG AJAL

Dokter perlu memberitahukan kepada pihak keluarga, bahwa pasien sudah tidak memiliki harapan untuk hidup lebih lama lagi. Tujuannya adalah untuk mempersiapkan keluarga dan pasien itu sendiri. Jika pihak keluarga tidak diberi tahu mengenai keadaan pasien yang sebenarnya dan akhirnya sang pasien meninggal, maka dokter bisa saja disalahkan oleh pihak keluarga. Dokter tidak perlu menutupi keadaan pasien, jika memang yang bersangkutan sudah tidak bisa ditolong. Setelah mendiagnosis dan kelihatannya tidak ada harapan, sebaiknya dokter memberitahukan kebenarannya.

Biasanya, reaksi pertama dari keluarga pasien adalah bingung dan mungkin tidak percaya. Mereka akan mencoba untuk bertanya lagi kepada dokter yang lain atau berobat ke tempat lain. Namun demikian, dokter sebaiknya tetap berusaha menjelaskan hasil pemeriksaan sedetail mungkin, dengan bahasa awam supaya dapat dimengerti.

Di satu sisi, ada keluarga yang memang tidak siap untuk menerima kenyataan seperti itu. Mereka pun berpikir, "Masa suami saya atau istri saya itu harus pergi secepat itu?" Tapi kalau kenyataannya seperti itu, kita harus bisa memberikan penjelasan secara kedokteran atau secara ilmiah. Pasien juga harus diberi tahu karena dia yang memunyai tubuhnya. Dalam kode etik di Indonesia, seharusnya pasien dulu yang berhak tahu. Tapi pada kenyataan atau praktiknya, keluarga yang minta agar si pasien jangan diberi tahu. Dalam kondisi seperti ini, disarankan agar pasien tetap diberi tahu, karena dialah yang memiliki tubuhnya sendiri.

Tentu saja dengan memilih waktu yang tepat, setelah hati si pasien disiapkan, dan dengan pendekatan yang baik.
  1. Sebagai keluarga yang dekat dengan pasien, entah sebagai suami, istri, atau anak, kita terlebih dahulu harus bisa menerima keadaan.
  2. Mengenai obat, biasanya kalau untuk meringankan rasa sakit (penstillen) si pasien pasti mau.
  3. Untuk penyakit yang tergolong berat, kalau bisa pihak keluarga mendampingi sepanjang waktu. Pasien membutuhkan pendampingan terutama dari orang yang dia kasihi dan orang yang paling berarti, terutama pada saat-saat terakhir.
  4. Beberapa cara untuk menolong orang yang menderita penyakit yang makin lama makin parah. Kalau dia orang Kristen, kita tetap bisa mendoakan dengan bersuara, bisa pegang tangannya, menyanyi untuk dia, dan membacakan firman Tuhan untuknya. Jadi, dia masih merasakan bahwa kita ini masih memerhatikan, dengan begitu dia akan dibangkitkan kembali.
  5. Kalau ada anggota keluarga yang koma, mungkin kita sulit menghadapinya. Bagaimana kita berkomunikasi dengan orang yang koma? Sebetulnya kalau jantungnya masih berdetak, kita bisa membisikkan dan mengucapkan sesuatu yang mungkin masih bisa didengarnya atau diresponinya. Saat koma, pasien biasanya tidak bergerak, hanya reaksi pupil terhadap cahaya masih bagus. Tapi kalau jantungnya sudah tidak berdetak, dipasang alat bantu pun percuma. Kalau keadaan pasien sudah makin kritis, biasanya keluarga akan dipanggil untuk hadir, ini sangat berpengaruh pada dirinya. Karena si pasien akan merasakan dia tidak sendiri, bagi orang yang akan meninggal, yang paling sulit itu dia akan meninggalkan dunia ini sendirian. Kita harus mengingat, Tuhan kita adalah Tuhan yang hidup. Meskipun dokter mengatakan tidak ada harapan, kita tetap bersandar penuh pada Tuhan. Jadi, kita harus mencoba yang terbaik yang bisa kita lakukan, meskipun membutuhkan biaya yang banyak untuk merawat orang yang kita kasihi. Ada banyak pasien yang oleh dokter dikatakan tidak ada harapan, tapi sembuh karena Tuhan menyatakan mukjizat.
  6. Kita bisa tahu bahwa pasien itu benar-benar sudah meninggal, misalnya dengan memeriksa nadinya sudah tidak ada, atau dari pupil matanya biasanya kalau sudah meninggal pasti melebar.
Biasanya kalau pasien akan meninggal dunia, seorang dokter Kristen akan mengingatkan kembali tentang Kristus yang mati di kayu salib untuk menebus dosa. Juga berita Injil tentang rumah Bapa di surga.

PERLAWATAN ORANG SAKIT

Orang sakit kerap kali berkeluh kesah, lebih-lebih kalau sakitnya sudah cukup lama. Yang cukup berat, kalau kondisi tubuhnya merosot pelan-pelan. Karena itu, keluh kesah, kekecewaan, putus asa, marah, tidak mau lagi berdoa, menumpuk menjadi satu. Tidak hanya yang sakit yang mengalami hal itu, tetapi juga keluarganya. Kemungkinan besar, mereka pun ikut hanyut dalam situasi itu.

Salah satu bentuk Pelayanan Pastoral kepada mereka yang sedang dalam kelemahan fisik atau sakit adalah melakukan "Perlawatan Pastoral" kepada mereka, baik yang dirawat di rumah maupun di rumah sakit. Inti perlawatan pastoral adalah kita menjadi teman bagi orang yang sedang sakit dan menjadi rekan bagi keluarga pasien. Bantuan-bantuan yang bisa kita berikan adalah sebagai berikut :

1. Kunjungan Penyembuhan.
Maksudnya melakukan suatu fungsi penyembuhan "holistik", dalam bentuk kesediaan kita untuk duduk di samping pasien dan mendengarkan dia mengungkapkan perasaan, keluhan, kemarahannya di hadapan kita. Singkatnya, kita menjadi media katarsis baginya atau tempat "mencurahkan hati" dari berbagai keluh-kesahnya.


2. Penguatan.
Maksudnya mendampingi pasien atau keluarga yang merasa mendapat "beban", supaya mereka tidak mengalami stres berkepanjangan. Misalnya: bagaimana sikap kita saat berhadapan dengan pasien yang menjadi tidak percaya diri pascaamputasi kakinya karena kecelakaan lalu lintas? Setelah amputasi biasanya pasien merasa tidak sempurna/cacat dan tidak bersemangat/bergairah menjalani hidup. Untuk itu, kita harus mendorongnya untuk bangkit lagi supaya tetap memiliki pengharapan. Atau, bagaimana kita harus mendampingi seorang ibu yang dihantui oleh rasa bersalah/berdosa terus-menerus setelah melakukan aborsi, padahal dia melakukannya demi keselamatan nyawanya, karena ia mengidap penyakit lever. Contoh lain: bagaimana kita harus bersikap ketika mendampingi pasien yang mengalami penyakit terminal, yang merasa cemas dalam menjalani hari-harinya dalam ketidakpastian, atau yang ketakutan karena fakta kematian terbentang di hadapannya.

3. Pembimbingan.
Melakukan penelaahan bersama (dengan pasien atau keluarganya) dengan tujuan memahami kasus-kasus yang dialami pasien, yang biasanya tidak ada hubungan dengan rumah sakit sekalipun, tetapi tetap perlu dibantu untuk ditangani. Contoh: konseli yang mengalami perceraian, hamil di luar nikah (dan ingin melakukan aborsi), dll.. Kehadiran kita sangat bermanfaat untuk membantu konseli dalam melihat konsekuensi-konsekuensi untuk mengadakan pertimbangan-pertimbangan moral.

4. Rekonsiliasi (Memperbaiki Hubungan).
Pasien kerap kali memunyai perasaan telah menjadi beban bagi keluarganya, dan keluarga sendiri sering merasa bosan mendengar keluhan tersebut. Akibatnya, terjadi kerenggangan hubungan di antara pasien dan keluarganya. Untuk itu, pelayan perlawatan pastoral berperan sebagai media yang dapat "menyambung hati" antara kedua kubu tersebut. Kasus lain: pasien pengidap TBC, lever, AIDS, dan penyakit kelamin, kerap kali menjadi rendah diri (karena tahu penyakitnya itu termasuk kategori menular atau susah sembuh), maka pelayan perlawatan "Pastoral Care" perlu membantu pasien agar dapat memiliki kepercayaan diri lagi.


KEMAMPUAN MENDENGARKAN :
Syarat utama agar kita dapat menjalankan perlawatan pastoral adalah kemampuan mendengarkan pasien. Berikut ini, enam syarat yang harus dimiliki agar dapat mendengarkan secara efektif.
  1. Menatap wajah lawan bicara sebaik-baiknya. Perlu melakukan kontak mata, supaya orang yang diajak bicara merasa yakin sungguh didengarkan.
  2. Menunjukkan minat. Maksudnya kita nampak antusias terhadap persoalan yang tengah diceriterakannya.
  3. Memberi perhatian terhadap lawan bicara, tidak sibuk sendiri dengan HP atau kegiatan lain. Singkatnya menyingkirkan segenap gangguan yang ada.
  4. Memahami segenap gejolak perasaan yang dialami oleh lawan bicara.
  5. Berempati (memiliki keinginan dan kemauan pendengar untuk berada atau masuk dalam situasi/kondisi yang dialami lawan bicara).
  6. Bersikap sabar, tenang, dan ramah, saat memberikan masukan/umpan balik.
"Lawatan Pastoral" sangat penting sebagai tanda keprihatinan, kasih, dan perhatian kepada anggota dan keluarga yang sedang bergumul itu. Kalau sakit masih agak baru, mungkin banyak orang yang ikut menengok; tetapi kalau sudah cukup lama, semakin jarang orang melawatnya.
Oleh karena itu, gereja sebaiknya memiliki program untuk melawat orang-orang sakit ini. Mereka sangat membutuhkan kasih dan perhatian. Tidak perlu berbicara panjang lebar. Tidak perlu nasihat. Cukup harapan, peneguhan, doa, dan membaca firman Tuhan.

Jumat, 11 November 2011

WAHANA PELAYANAN MISI KASIH

Meningkatnya pembangunan disegala bidang dan akibat krisis yang multi-demensional yang berkepanjangan ini membawa dampak masalah kesejahteraan sosial yang semakin komplek serta menimpa hampir sebagian besar penduduk Indonesia yang komplek dan majemuk.
Berbagai permasalahan sosial selalu dan sering kali tampak menggilas kelangsungan hidup masyarakat Indonesia yang masih belum mapan secara keseluruhan. Untuk itu dalam penangan masalah sosial harus melibatkan partisipasi masyarakat sekitarnya, karena keterbatasan Pemerintah dalam segala hal, antara lain sarana, prasarana, dana dan aparat.

Agar partisipasi masyarakat dapat lebih terarah dan dapat menjangkau lebih banyak populasi permasalahan kesejahteraan sosial, maka perlu dibentuk suatu wadah yang terorganisir dan melembaga, dengan berbagai sebutan antara lain Orsos / LSM atau berbagai sebutan lainnya yang adalah wahana partisipasi masyarakat dalam penanganan bidang kesejahteraan sosial, karena Orsos / LSM dalam pelayanannya bertujuan menanggulangi permasalahan kesejahteraan sosial dan kemanusiaan untuk membantu mewujudkan masyarakat yang sejahtera.

Partisipasi masyarakat dalam keikut sertaannya menangani masalah kesejahteraan sosial telah diberi landasan dalam Pasal 8 UU No.6/1974 (Ketentuan Pokok Kesos) yang berbunyi: “Masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk mengadakan Usaha Kesejahteraan Sosial (UKS)” begitu pula wadah untuk menampung partisipasi masyarakat dalam bidang kesejahteraan sosial diberi landasan dalam Pasal 9 UU No.6/1974, yang berbunyi: “untuk mencapai daya guna dan daya kerja sebesar-besarnya bagi usaha masyarakat dibidang kesejahteraan sosial, yaitu kesejahteraan sosial dan permasalahan organisasi atau lembaga lain yang syarat-syarat dan cara-cara pembentukkannya diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan”
Pengertian tentang Organisasi sosial atau Organisasi Masyarakat dapat dilihat lebih jelas sebagai berikut:

1. Organisasi Sosial ( Orsos )
Ialah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam melaksanakan Usaha Kesejahteraan Masyarakat ( Kep Mensos No.40/Huk/KEP/X/1980 ).

2. Organisasi Kemasyarakatan (Ormas)
Ialah organisasi yang dibentuk oleh masyarakat secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan profesi, fungsi, agama untuk ikut berperan serta dalam pembangunan ( UU No.8/1985 Tentang Ormas ).

KOMITMEN :
Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri.
Setiap orang diantara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangun.”

Manusia dilahirkan dalam kebaikan dan oleh kebaikan. Kebaikan merupakan suatu sifat transendental dari manusia. Manusia dikatakan baik sebab berasal dari kebaikan sempurna yakni Tuhan. Manusia adalah citra dari kebaikan Allah tersebut. Keberadaan manusia terlebih merupakan suatu ekspresi dari kebaikan Allah

IMPLIKASI :
Kita sering mengharapkan Tuhan yang selalu harus turun tangan untuk menyelesaikan
segala masalah, bencana, dan penderitaan.
Tapi satu hal yang harus kita ketahui, Tuhan pun ingin kita bersimpati dan empati pada lingkaran kehidupan kita, Tuhan mau kita ikut turun tangan membantu permasalahan dan penderitaan orang lain.

Sebab tidak ada seorangpun di antara kita yang hidup untuk dirinya sendiri, dan tidak ada seorangpun yang mati untuk dirinya sendiri. Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan.(Roma14:7-8)