Minggu, 01 Februari 2015

Jemaat dan Pemimpin Gereja

Sekitar akhir abad pertama dan awal abad kedua, berkembang sebuah permasalahan di gereja Korintus yang mengakibatkan diberhentikannya beberapa penatua di sana. Clement, Bapa Gereja di Roma, meresponi masalah ini dengan menuliskan surat penggem-balaan yang kemudian dikenal sebagai surat 1 Clement (karena ada surat 2 Clement). Di dalam surat itu, Clement tidak terlalu mempermasalahkan tentang pemberhentian para pemimpin gereja itu sendiri, karena alasan yang mendasarinya dirasa tidak cukup tepat. Sebab menurutnya, seorang pemimpin gereja hanya boleh diberhentikan kalau ada perma-salahan moralitas, tidak boleh karena alasan lain.

Argumennya Clement ini sejalan dengan pendapat Paulus tentang betapa pentingnya kualitas moral seorang pemimpin gereja. Itu sebabnya, sebagian besar syarat para pemimpin gereja adalah berhubungan dengan moralitas dan karakter (Baca: 1 Timotius 3:1-13, dan bandingkan dengan Titus 1:5-9).

Panggilan untuk menghormati pemimpin jemaat juga disuarakan oleh Alkitab, salah satunya di Ibrani 13:17. Penghormatan ini penting karena menurut penulis Ibrani, para pemimpin itu adalah penjaga dan penanggung-jawab jiwa kita. Kalau meminjam ilustrasi yang umum dipakai di bagian lain dari Alkitab, mereka adalah gembala kita. Tapi perintah untuk menghormati ini bukan berarti bahwa para pemimpin gereja memiliki otoritas yang tak terbantahkan. Justru sebaliknya, para pemimpin jemaat memiliki tanggung-jawab yang besar untuk menjaga jemaatnya dan untuk menjaga agar dirinya tidak menjadi pemimpin yang lalim. Ada konsekuensi yang mengerikan kalau pemimpin gereja lalai atau menjadi lalim. Salah satu gambaran yang mencengangkan tentang ini dapat kita temukan di Yehezkiel 34:1-16.

Di situ digambarkan tentang pemimpin Israel di jaman Yehezkiel. Mereka yang seharusnya menjaga umat, seperti seorang gembala merawat domba-dombanya, justru memangsa jemaat yang dipimpinnya. Umat diperas dan dimanfaatkan untuk memenuhi keinginan pribadi para pemimpin. Akibatnya Tuhan murka dan melalui Yehezkiel, menyatakan janji-Nya untuk menghukum mereka.

Karena itu, kalau kita adalah pemimpin gereja, di tingkat apapun, baik itu sebagai pengerja, anggota majelis jemaat, komisi, aktivis, apapun itu, selalu waspadalah akan ketidak-kudusan. Selalu timbang-timbang keputusan dan sikap yang kita ambil. Periksa apakah motivasinya murni. Apakah ada keuntungan pribadi atau kelompok yang sedang diutamakan di situ. Apakah jemaat akan dirugikan sementara kita diuntungkan melaluinya. Ingat juga selalu bahwa kita sedang membangun kerajaan Tuhan, bukan kerajaan kita sendiri.

Sementara itu, kalau kita menjadi yang dipimpin, adalah tugas kita untuk menjaga agar pemimpin kita tidak menjadi lalim. Dengan ikut mengontrol mereka melalui jalur-jalur pengawasan yang ada, ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan, memberikan kritik-kritik yang tepat, dsb. Hati-hati juga untuk kita tidak mengkultuskan orang-orang tertentu dan menjatuhkan mereka ke dalam pencobaan akan kesombongan

28 September 2012 pukul 18:52

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.